Celoteh

KALATIDHA
Puitisasi & Tafsir Tekstualnya


Serat Kalatidha adalah karya sastra berbahasa Jawa berbentuk tembang macapat jenis sinom sepanjang 12 bait yang ditulis Ronggowarsito kurang lebih tahun 1860. Saat itu sang pujangga sudah menduduki posisi sebagai pujangga kerajaan di Keraton Kasunanan Surakarta. Ia kemudian juga dikenal sebagai pujangga panutup (pujangga terakhir), sebab setelah itu tidak ada lagi pujangga kerajaan.
Konon Ronggowarsito menulis karya itu saat pangkatnya tidak segera dinaikkan sebagaimana yang ia harapkan. Lalu ia menggeneralisir keadaan yang secara umum ia anggap bahwa saat itu merupakan zaman edan di mana tengah terjadi krisis kehidupan.
Beberapa pihak yang mencoba menganalisa kandungan Kalatidha acap membagi serat ini ke dalam 3 bagian. Bagian pertama, yang digambarkan sebagai jaman tanpa prinsip tertulis di bait 1 sampai 6. Bagian kedua, yang berisi proses introspeksi diri hingga muncul satu tekad yang besar tertulis di bait ke-7. Sedangkan bagian ketiga, berisi tentang keutamaan seseorang yang memiliki sikap dan ketaatan pada agama dalam kehidupan dimasyarakat tertulis di bait 8 sampai 12.
Jika ditarik secara umum, tanpa mempertimbangkan kondisi psikhologis penulisnya berikut latar belakang jaman saat karya itu ditulis, ada yang menafsirkan bahwa bagian pertama merupakan penyebab datangnya zaman edan. Bagian kedua mendeskripsikan keadaan saat berlangsungnya zaman edan dan bagian ketiga menyangkut hal-hal yang harus dilakukan untuk bisa keluar dari zaman edan.
Berikut saya mencoba menafsir ulang isi serat tersebut sekuat mungkin mengacu pada teks yang tertulis di sana. Penafsiran itu saya awali dari proses penerjemahannya dalam bahasa Indonesia, lantas saya coba tuliskan kembali dalam bentuk puisi. Namun, lantaran keterbatasan saya dalam memahami bahasa jawa dan karya sastra jawa, sudah barang tentu teks baru yang saya tuliskan berpotensi menimbulkan perbedaan tafsir dari tafsir-tarsir lain yang pernah ada. Hal lain yang perlu saya kemukakan juga adalah, saya mencoba membatasi diri untuk tidak memasukkan pertimbangan-pertimbangan lain (termasuk karya Ronggowarsito lainnya), selain dari apa yang tertulis di dalam kalatidha.


KALA TIDHA

JAMAN RAGU

Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunyaturi
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sujana sarjana kelu
Kalulun kala tidha
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda


kini, martabat negara
tlah musnah, diburu susah
tata negara poranda sudah
sebab tanpa tauladan
ditinggal; petuah dan aturan.
kaum cerdik pandai larut
terseret gelombang kala tidha, hanyut
senyap para penanda kehidupan
dunia njelma huruhara, karena bah bencana

bait ini merupakan statemen mendasar ronggowarsito atas kehidupan bernegara saat itu. pandangannya menyimpulkan bahwa harkat dan martabat (derajat) negara telah merosot. ketatanegaraan (urusan pemerintahan) rusak sebab ketiadaan suri teladan. di samping semua telah meninggalkan etika dan aturan lama (adat istiadat). kaum cendikiawan pun tidak berdaya, bahkan terseret oleh arus jaman yang disebutnya kala tidha. hingga yang terasa dalam kehidupan sehari-hari adalah suasana yang mencekam, sebab berbagai masalah (krisis multidimensi) muncul dimana-mana.


Ratune ratu utama
Patihe patih linuwih
Pra nayaka tyas raharja
Panekare becik-becik
Paranedene tan dadi
Paliyasing Kala Bendu
Mandar mangkin andadra
Rubeda angrebedi
Beda-beda ardaning wong saknegara


sang raja, raja utama
sang patih, berkemampuan lebih
para punggawa bercita sejahtera
aparat semua baik
namun tetap tak berkutik
tertolak jaman terkutuk!
yang bahkan kian merajalela
gangguan smakin merintang
sementara, beda-beda laku angkara senegara

bait ini memperkuat argumentasi ronggowarsito soal latar belakang penyelenggara negara (dan berbagai pihak yang mestinya mampu menjalankan pemerintahan hingga berefek pada kehidupan) masyarakat secara luas yang lebih baik. namun semua itu justru tidak berdaya merubah suasana. ini adalah suatu ironi yang disampaikannya dalam nada yang ekstrim. dikatakannya, semua perangkat negara dari raja, patih, menteri, hingga aparat pemerintah adalah orang-orang pilihan yang nyaris sempurna. namun tetap saja itu semua tak mampu melawan kala bendu. bahkan situasi kian terpuruk, berbagai masalah kian menghadang. tapi soal bidang apa keterpurukannya dan kerumitan masalahnya sejauh apa, tidak diungkapkannya secara lebih spesifik. kecuali silang sengkarut perbedaan perilaku orang-orang senegara yang mempermarah keadaan.


Katetangi tangisira
Sira sang paramengkawi
Kawileting tyas duhkita
Katamen ing ren wirangi
Dening upaya sandi
Sumaruna angrawung
Mangimur manuhara
Met pamrih melik pakolih
Temah suka ing karsa tanpa wiweka


jaga dari tangis
dia, sang pujangga
yang tengah dililit duka cita
ditikam malu dan hina
oleh muslihat tersembunyi
yang mendekat, merengkuh,
menghibur memikat hati
berujung pamrih meraih keuntungan pribadi
hingga beriang keinginan, tanpa hati-hati

suasana kehidupan di luar sang pujangga terasa sebanding dengan suasana pribadi yang dihadapinya. bait ini terinspirasi dari kasus awal yang menimpa pribadi sang pujangga. ia kecewa lantaran tertipu oleh “upaya rahasia” yang mendekati, merengkuh dan memikat hatinya sembari menyimpan pamrih untuk melunaskan kepentingan pribadi. hingga tanpa sadar sang pujangga sekedar teracuni keinginan, namun melupakan kehati-hatian. sampai akhirnya ia merasa dipermalukan. rupanya, bagi ronggowarsito rasa malu itu telah membuatnya terpuruk sedemikian rupa, seolah dirinya adalah korban arus jaman dan kebobrokan sistem kekuasaan (sebagaimana yang ia gambarkan di bait-bait sebelumnya).
ronggowarsito terasa sangat subyektif di bait ini. karena kasus semacam itu (dalam karya ini) hanya menimpa dirinya. tidak ada korban lain yang dipermalukan oleh “upaya rahasia” semacam itu sebagaimana dirinya. atau paling tidak, tidak ada korban lain yang mengalami kasus sebanding dengan dirinya sebagai korban rejim penguasa.
ia menulis dengan sangat emosional, lewat diksi tangis, sedih, malu yang melanda sang pujangga. sungguh suasana yang sangat mengharubiru dan cenderung menimbulkan tafsir bahwa sang pujangga adalah seorang yang ringkih dan cengeng selain “jaim”. dan yang utama, ia adalah seorang korban. seorang yang kalah atau dikalahkan. seorang yang tidak berdaya berhadapan dengan lawannya.

Dasar karoban pawarta
Bebaratun ujar lamis
Pinudya dadya pangarsa
Wekasan malah kawuri
Yan pinikir sayekti
Mundhak apa aneng ngayun
Andhedher kaluputan
Siniraman banyu lali
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka


dasar bersandar pada kabar
kabar angin yang manis berujar;
bakal diangkat jadi pemuka
tersia malah, akhirnya.
jika dipikir senyatanya
apa guna berdiri di muka
membiak kesalahan cuma
apalagi tersiram tirta alpa
jika tumbuh cuma mekar bunga masalah

apalagi keterpurukan sang pujangga (tersebab aib dan rasa malu) diakuinya sendiri lantaran ketidakwaspadaannya terhadap berita yang belum pasti. berita akan diangkatnya dirinya ke posisi/kedudukan yang lebih tinggi sebagai pemuka (perangkat kerajaan).
bait ini secara tersirat menggambarkan kelemahan sang pujangga yang sebenarnya. seorang pujangga yang punya ketajaman pikir dan kemantapan emosi kemungkinan besar telah bisa memahami kemana kira-kira arah suatu masalah yang datang kepadanya akan berujung. ini menunjukkan sebagai pujangga (apalagi pujangga kerajaan), ronggowarsito telah gagal memahami karakter kekuasaan. bisa dibilang ini kekalahan telak kesenian/kebudayaan atas politik. (kalah telak; sebab sebab ronggowarsito adalah pujangga kerajaan. orang yang termasuk berada di dalam sistem kekuasaan politik).
secara tersirat tergambar, pada awalnya dia tidak mengetahui jika akhirnya bakal terkena tipu daya. semula dia menganggapnya sebagai kabar menggembirakan, namun akhirnya dianggapnya sebagai lip service. diksi lamis menunjukkan betapa kabar soal pengangkatan posisinya pada jabatan tertentu itu adalah ujar lamis, sesuatu yang bernilai rendah yang semestinya tak perlu ditanggapi hingga menguras emosi.
lucunya lagi, lalu dia menenangkan dan menyenangkan diri dengan mengungkap efek negatif suatu kedudukan yang hanya akan jadi sumber munculnya beragam kesalahan. terlebih jika didorong dengan situasi lupa diri (yang sangat berpotensi muncul akibat arus jaman edan sebagaimana analisanya). hingga kekuasaan dalam kesimpulannya di bait ini, adalah sumber kesalahan, sumber masalah yang mengarus kepada bencana kehidupan. kekuasaan bukanlah akses untuk melakukan perubahan tatanan dan kehidupan yang lebih baik.
akan lebih fair sebenarnya jika di bait ini ia juga mengemukakan misinya, jika seandainya menduduki posisi yang lebih tinggi, sebagaimana yang dikabarkan itu. terlebih lagi jika ia mau menuliskan, seandainya ia jadi diangkat; apa tanggapannya tentang posisi kekuasaannya dalam jaman edan itu?


Ujaring panitisastra
Awewarah asung peling
Ing jaman keneng musibat
Wong ambeg jatmika kontit
Mengkono yen niteni
Pedah apa amituhu
Pawarta lolawara
Mundhuk angreranta ati
Angurbaya angiket cariteng kuna


petuah panitisastra
memandu memberi peringatan;
di jaman yang terkena musibah
para jiwa bijak dikalah, ditepikan.
demikian jika memahami
apa guna meyakini
berita nisbi
yang hanya kian menyiksa hati?
lebih utama merajut karya kisah lama

meski terlambat, namun sang pujangga berupaya untuk lebih belajar pada referensi masa lalu. tapi rasanya, ini juga dalam rangka meningkatkan dan melegitimasi kwalitas dirinya. ia menyitir buku sastra yang mengatakan bahwa yang tidak dipakai, yang tidak difungsikan dalam kehidupan bernegara adalah orang-orang yang berjiwa bijaksana. dalam kasus ini ia adalah orang yang tersingkir, dikalahkan dan tidak digunakan. tapi ia tak perlu khawatir karena otomatis itu menjelma legitimasi bahwa ia adalah orang yang bijak, yang paham pada tanda-tanda jaman.
lalu ia ulangi lagi bahwa tidak ada gunanya meyakini kabar kosong (soal pengangkatan kedudukannya) yang (sekali lagi) hanya membuat sakit hati. ia pun menemukan alasan untuk lebih baik melakukan kreatifitas terkait dengan karya-karya lama. terasa ada nada “melarikan diri” dari masalah. berkarya untuk alternatif lari dari masalah yang dihadapi.


Keni kinarta darsana
Panglimbang ala lan becik
Sayekti akeh kewala
Lelakon kang dadi tamsil
Masalahing ngaurip
Wahaninira tinemu
Temahan anarima
Mupus pepesthening takdir
Puluh-Puluh anglakoni kaelokan


dapat berguna sbagai teladan
pembanding baik buruk.
sungguh, banyak telah
kejadian merupa kiasan-
persoalan kehidupan
hingga menemu makna-
akhirnya, ikhlas terima
berserah kepastian takdir;
anggap, tengah melakoni keanehan

di bait ini, lebih lanjut ronggowarsito mengungkap alasan atas orientasinya untuk berkonsentrasi pada referensi kehidupan yang telah lama ada. dikatakannya cerita-cerita lama itu dapat jadi pembanding baik dan buruknya kejadian sekarang. dari sana orang bisa menemukan makna kehidupan, menemukan keikhlasan.
jika kita cermati, ada upaya sang pujangga “mencari teman senasib” dalam bait ini. karena di masanya tidak ada “teman senasib” yang ditulisnya (dalam karya ini), maka cerita-cerita lama dianggapnya sebagai “teman senasib” yang memperkuat analasinya sebagai korban jaman. kemungkinan juga rasa ikhlas, berserah kepada takdir yang berawal dari pertemuannya dengan makna kehidupan itu, juga merupakan hasil perbandinganya dengan kisah-kisah sebelumnya.
“menggelikannya”, ia tetap saja masih menyinggung kasusnya sebagai penutup bait ini lewat diksi kaelokan (keanehan). sebuah kata sindiran yang terasa nylekit. (kaelokan dari kata elok, yang berarti indah). artinya, sakit hatinya masih terus berlanjut di bait ini (setelah disinggungya berturut-turut di 2 bait sebelumnya), namun dengan diksi yang berarti kebalikannya; kebobrokan tipu muslihat sebagai kaelokan. amarah dan sakit hatinya yang semula menjelma bait-bait verbal (di 2 bait sebelumnya), kini ditulisnya dengan diksi yang bermakna kebalikannya.


Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan nora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada


hidup di jaman edan,
serba sulit keadaan
turut edan tidak tahan
namun, jika tidak melakukan
tak kan dapat bagian
berpungkas kelaparan.
tapi, kehendak tuhan sudah
betapa pun beruntung si alpa
lebih beruntung sang sadar yang waspada

isian di bait ini bisa dibagi dalam 3 bagian.
bagian pertama (baris 1 & 2) mengambarkan jaman edan yang penuh dengan kesulitan dan kecanggungan, membuat hati dan pikiran terbelah.
bagian ke-2 (baris 3 s/d 6) menggambarkan konsekwensi keterbelahan itu secara riil dan signifikan. bagi yang tidak tahan mengikuti arus jaman akan berakibat tidak memperoleh keuntungan dunia. di baris ke-6 ia gambarkan dengan diksi tegas kaliren (kelaparan) akhirnya. diksi yang merujuk pada kesengsaraan perut, bukan otak (pikiran) atau hati (keyakinan).
bagian 3 (baris 7 s/d 9), diawali dengan kehendak tuhan yang menjadikan orang alpa lebih rendah derajat keberuntungannya dibanding orang yang sadar dan waspada. di sini, betapa campur tangan (kepastian) tuhan yang sedemikian besarlah yang menjadi penuntun orang perorang untuk selamat dari jaman edan semacam itu atau tidak. otoritas manusia hanya sebatas melakukan lali di satu sisi atau eling lan waspada di sisi lainnya.
sayangnya, ronggowarsito tak melengkapi gambaran di bait ini terhadap nasib orang/pihak yang mampu mengikuti arus jaman dengan edan-edanan, misalnya.


Semono iku bebasan
Padu-padune kepengin
Enggih mekoten man Doblang
Bener ingkang angarani
Nanging sajroning batin
Sejatine nyamut-nyamut
Wis tuwa arep apa
Muhung mahas ing asepi
Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma


demikianlah perumpaaan
bagi yang sebenarnya berkeinginan
begitu kan paman doblang?
barangkali benar yang menuduh demikian
tapi dalam hati
masih jauh dari sejati.
kian tua, apa jua
lebih baik menyepi
agar mendapat ampunan penguasa sukma

di bait ini kembali ranggawarsito mencoba semeleh mengatasnamakan usia tua. sebuah masa yang memperkuat alasan untuk menghindari konflik dengan keramaian kehidupan. masa untuk menyepi dan berserah diri mencari ampunan tuhan. anti konflik apalagi bagi orang yang memasuki masa tua.


Beda lan kang wus santosa
Kinarilah ing Hyang Widhi
Satiba malanganeya
Tan susah ngupaya kasil
Saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
Marga samaning titah
Rupa sabarang pakolih
Parandene maksih taberi ikhtiyar


lain bagi yang tlah kuat
lagi, anugerah tuhan didapat
apa pun laku tingkahnya
tak pernah sulit membilang keberhasilan
bernasib baik senantiasa
tuhan pun memberi pertolongan
sebab kepada sesama makhluk
segala rupa bermanfaat.
meski begitu, masih juga rajin ikhtiar

bait ini ditulis dengan sedikit provokatif untuk pihak-pihak yang dikatakannya telah mencapai santosa (artinya, beda dengan yang tidak/belum santosa). meski dalam segala hal selalu beroleh kebaikan dan mendapat rahmat tuhan, pihak-pihak tersebut masih terus berikhtiar dalam kehidupan. ini agak riskan jika kita bandingkan dengan bait yang mengatakan soal jaman kalatidha yang carut marut penuh ketidakpastian. ternyata ada juga yang berkondisi lain seperti di bait ini yang berada dalam suasana “berkah dan pertolongan tuhan, tanpa berusaha selalu berhasil”.

Sakadare linakonan
Mung tumindak mara ati
Angger tan dadi prakara
Karana riwayat muni
Ikhtiyar iku yekti
Pamilihing reh rahayu
Sinambi budidaya
Kanthi awas lawan eling
Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma


semua sekadar dilakukan-
semata, tindak menuju hati
asal tak menuai masalah.
sebab sesuai riwayat lama
ikhtiar adalah kewajiban
sebagai jalan pilihan ke keselamatan
sembari terus berusaha
dengan sadar dan waspada
agar meraih kasih anugerah tuhan

di bait ini ronggowarsito melakukan pilihan sederhana dengan perlawanan yang tidak meledak-ledak terhadap jaman. semua tindakan mengarah dan mengarus pada pertimbangan hati, asal tidak menjadi prakara dalam kehidupan. sambil terus berusaha dengan membangun kesadaran dan kewaspadaan. tujuannya (bersifat spiritual, individual) untuk mendapat rahmat tuhan. bukan untuk (komunal, sosial) perubahan sosial. bandingkanlah misalnya dengan “.../hanya satu kata/ lawan!/” nya wiji thukul. atau “.../aku ini binatang jalang/” nya chairil yang “.../dari kumpulannya/ terbuang/ biar peluru menembus dadaku/ aku tetap meradang/ menerjang!/...” atau “.../perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata/...” nya mas willy.

Ya Allah ya Rasulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang martani
Ing alam awal akhir
Dumununging gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan


ya tuhan ya sang utusan,
empunya sifat murah dan asih
moga berkenan memberi-
pertolongan yang menyelamatkan
di alam awal, akhir
tempat hidup hamba
yang kini tlah tua.
bagaimana di akhir nanti?
maka moga ada pertolongan tuan

bait ini ronggowarsito benar-benar-benar menyandarkan hanya kepada kekuatan keilahian. baris pertama jelas merupakan pengaduan umat manusia (dalam agama islam) yang mengadu kepada tuhan dan rasulnya, agar memberi pertolongan yang menyelamatkan kehidupan dunia dan akheratnya (dua dunia tempat hidup pemeluk islam; fiddunya wal akhiroh).
namun keselamatan akan kehidupan dunia lebih diutamakannya, terbukti dengan tulisannya di akhir bait ini (baris 7 s/d 8), soal usia tua dan akhir dari nasibnya nanti. baris ke-8 yang berisi pertanyaan soal “bagaimana akhir nasibnya nanti” ini agak sensitif jika dibandingkan dengan keyakinan beberapa pihak yang beranggapan bahwa pujangga ini mampu meramal dengan tepat atas sejumlah hal, termasuk soal kematiannya.


Sageda sabar santosa
Mati sajroning ngaurip
Kalis ing reh aruraha
Murka angkara sumingkir
Tarlen meleng malat sih
Sanityaseng tyas mematuh
Badharing sapudhendha
Antuk mayar sawetawis
BoRONG angGA saWARga meSI marTAya


agar mampu sabar sentosa
laksana mati di dalam hidup
lepas dari kuasa kerusuhan
menyingkir murka angkara.
berpusat pada diri, memohon kasih
senantiasa meluruh, hati patuh
agar mengurungkan kutukan
hingga mendapat sinar terang sementara
berserah jiwa raga untuk keabadian surga.

meski pada bait sebelumnya ronggowarsito telah sempat menyinggung soal kehidupan setelah mati (alam akherat), namun di bait terakhir karyanya ini, ia justru “mementahkan” kembali tema pembahasannya kepada masalah duniawi. sungguh, sepertinya ia belum puas juga membahas suasana kehidupan dunia. berikut riuh rendahnya, ketakutannya, keselamatannya, rasa sepinya hingga pernyataan berserah dirinya kepada tuhan. bahkan “sinar terang tuhan” yang diharapkannya pun ia tulis dengan kalimat “.../Antuk mayar sawetawis/...” hingga hanya bersifat sementara yang merujuk pada kehidupan (sementara) di dunia.
dari baris pertama hingga baris ke-8 terasa berorientasi kehidupan dunia. hanya baris terakhir dari bait ini yang nyata-nyata diperuntukkan bagi kehidupan akherat. itupun konsentrasi penuangan gagasan penulisnya mesti dibagi dengan kebutuhannya untuk memberi tanda sandi asmo. ciri khas karya pujangga ini berupa nama yang disembunyikan letaknya, dengan ikatan bahasa yang enak didengar, gampang dihapal. sebab selalu ada purwakanthi swara (suara yang mengikuti suara yang lain). sandi asmo dalam serat ini tercantum di baris terakhir, bait terakhir. perhatikan huruf kapital tebal berikut ini “.../BoRONG angGA saWARga meSI marTAya/...”

solo, 24 agustus 2010.


“CELLO”, KASTA BARU KERONCONG?
(Catatan Kaki untuk Solo Keroncong Festival)

“Silahkan tampil grup berikutnya di Panggung Cuk. Tapi nanti kalau Pak Wali dan Pak Menteri datang, pentas di situ dihentikan dulu. Diganti penampilan Grup HAMKRI di Panggung Cello. Sebab Pak Wali dan Pak Menteri akan menonton acara di Panggung Cello.”
Demikian kurang lebih sms yang diterima Max, Manajer “OPM” (Orkes Plasu Minimal) sesaat sebelum kelompoknya tampil di Panggung Cuk sesuai “jadwal terakhir” dari Panitia SKF (Solo Keroncong Festival). Menurut Agung (Pimpinan OPM), sebelumnya ia sudah menerima undangan resmi yang menentukan grupnya bakal tampil di Panggung Cello pada waktu yang sama yakni, 25 Juli 2010 jam 21 lebih sekian menit, lewat sekian detik.
Tapi beberapa hari sebelum festival, panitia merubah jadwal peserta termasuk OPM. Dengan alasan Panggung Cello hanya untuk grup berstandard “orkestra”, “legenda” dan “bintang tamu”, maka grup yang tidak memenuhi ukuran itu musti hengkang ke panggung lain.
Anehnya, gagasan itu diamini sejumlah peserta yang notabene penggiat keroncong dan pentolan masing-masing grup. Gagasan yang memposisikan kelompok bukan “orkestra”, “legenda” dan “bintang tamu” hanya sebagai “penggembira”, “pupuk bawang” yang diundang sekedar memeriahkan pesta kelahiran kasta baru keroncong, yakni kasta utama di Panggung Cello. Gagasan yang menyitir ungkapan Jawa “timun wungkuk jaga imbuh”, tertuju bagi sebagian besar peserta SKF lainnya.
Ada perbedaan mencolok antara Panggung Cello dan panggung lain (Panggung Cak dan Panggung Cuk). Panggung Cello terletak di pusat kawasan Ngarsopuro (depan Windu Jenar) dengan ukuran 5 X lebih besar dari 2 panggung lain (terletak di tepi utara dan selatan Ngarsopuro). Dengan kualitas dan kuantitas lighting jauh melampaui panggung lainnya, Panggung Cello masih berhias gun smoke yang memunculkan efek kepulan asap. Ironisnya, beberapa pemusik yang tampil dengan membaca notasi justru terganggu lantaran tidak bisa membaca saat gun smoke dihidupkan. 3 orang MC juga dipatok di panggung itu selama acara berlangsung, tanpa pernah sekali pun dibagi ke panggung lain. Dengan layar LCD yang ukurannya lebih besar, penonton di depan panggung ini juga disediakan kursi. Tidak sebagaimana 2 panggung lainnya yang musti nglesot di aspal jalanan.
Malam pertama SKF (24 Juli 2010) juga ada keanehan tatkala tiba-tiba panitia merubah jadwal lantaran ada stasiun TV nasional melakukan siaran langsung Midnight Live. Panitia langsung menghentikan penampilan peserta di panggung lain dan menggantinya dengan penampilan Grup Keroncong HAMKRI di Panggung Cello sebagai contens program TV tersebut.
Sejumlah kasus yang menunjukkan ketidak-mandirian dan ketidak-profesionalan Panitia SKF bertebaran di hampir setiap jadwal penampilan peserta selama dua hari event itu. Kasus Siaran Metro TV dan rencana kehadiran walikota dan menteri itu menunjukkan betapa panitia tidak menghormati keputusan resmi yang mestinya mereka jaga sekuat daya, sebagai otoritasnya. Apalagi itikad untuk menyajikan Grup Keroncong HAMKRI pada dua kasus itu, menunjukkan bahwa hanya HAMKRI-lah yang pantas disuguhkan mewakili event itu tatkala berhadapan dengan media TV dan penguasa.
Persoalan paling krusial hingga festival berakhir adalah masalah sound system. Hampir semua penampil tidak luput dari “serangan” dengung sound atau matinya mikrophone secara tiba-tiba. Hampir tidak ada kelompok yang tampil dengan penataan sound seimbang dan merata. Bahkan di Panggung Cello yang konon dipersiapkan secara khusus (beda dengan panggung lain) pun dan tak luput dari musibah itu. Beruntung “Kelompok Congrock” dari Semarang dan “Sinten Remen” dari Yogja telah mengantisipasi masalah ini dengan membawa crew penata sound sendiri.
Layar LCD di sisi masing-masing panggung yang direncanakan berfungsi bagi panitia untuk mendeteksi acara yang tengah berlangsung di panggung tertentu, selain untuk memudahkan penonton supaya tidak perlu hilir mudik dari panggung satu ke panggung lain, juga tidak optimal. Hari pertama layar tidak bisa mengirimkan gambar, lalu di hari kedua terlambat menayangkan pertunjukan. Celakanya, ketika akhirnya berhasil menayangkan pertunjukan grup yang sedang pentas, resolusinya pecah, kabur dan tidak detil. Beda jauh dengan saat awal menyala, ketika layar itu menayangkan gambar-gambar sponsor dengan cerah dan jelas.
Di samping yang bersifat esensial (gagasan) banyak hal teknis (operasional) yang kurang berjalan sebagaimana mestinya. Sayangnya, permasalahan di kedua ranah itu mengerucut pada kenyataan munculnya pengelompokan yang bersifat “kastaisme” serta berujung pada diskriminasi terhadap peserta, bukan berdasar pada proses kreatif (eksplorasi musikal) masing-masing kelompok, tapi lebih bertopang pada persoalan nama besar dan tingkat popularitas.
Berbeda dengan pemberitaan di media serta opini sebagian masyarakat yang mengklaim bahwa SKF berlangsung dengan sukses dan meriah, jika kita jeli mengamati sejumlah kasus riil di sana akan nampak sejumlah hal mengkhawatirkan. Utamanya terkait dengan mentalitas penggiat keroncong berikut perkembangan musik itu.
Barangkali pembacaan kembali sejarah dan perkembangan musik keroncong yang dinamis dan adaptif perlu dikedepankan kepada para aktivis keroncong kita. Agar gagasan dan praktek-praktek yang tidak kondusif bagi perkembangan keroncong selanjutnya tidak perlu terjadi. Semisal hal itu kita awali dari 3 kata sebagaimana yang digunakan untuk menamai festival (di Ngarsopuro) tersebut, yakni “Solo”, “keroncong” dan “festival”.

Solo
Solo, Sala atau Surakarta, adalah sebuah kota di Jawa Tengah yang terletak pada jalur strategis dari Semarang dan Yogyakarta menuju Surabaya dan Bali. Wilayah di sekitarnya sering disebut sebagai Surakarta yang merupakan bekas wilayah karesidenan.
Berdiri tahun 1745, Surakarta pernah menjadi pusat pemerintahan pada masa akhir Kesultanan Mataram. Setelah Mataram pecah, Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan dan Pura Mangkunegaran yang keduanya terkait dengan Majapahit. Sebab, jika ditelusuri Dinasti Mataram merupakan keturunan dari raja-raja Kesultanan Demak yang merupakan penerus Dinasti Wijaya, pendiri Majapahit.
Solo berkembang menjadi kota dagang penting saat “Syarikat Dagang IslamO berdiri tahun 1905. Solo juga pernah dijuluki sebagai kota wisata dan kota budaya. Bangunan bersejarah, produk kesenian, makanan khas, serta hiburan mudah dijumpai di kota ini. Sejak kepemimpinan Jokowi-Rudy, Solo mentasbihkan diri sebagai “Spirit of Java” yang lebih merujuk pada makna “Java” sebagai kebudayaan.

Keroncong
Kelahiran musik ini dimulai Abad XVI ketika pelaut dan budak kapal Portugis memperkenalkan musik fado ke Nusantara. Masuk dari India ke Malaka musik ini dimainkan oleh para budak dari Maluku. Dalam perkembangannya masuk sejumlah unsur tradisional seperti seruling serta beberapa komponen gamelan.
Tahun 1879 ukulele yang ditemukan di Hawai menjadi alat utama keroncong. Bunyi “crong-crong”-nya melahirkan karakter khas penanda musik keroncong. Abad XIX musik campuran ini populer di banyak tempat bahkan sampai di Semenanjung Malaya.
Musik yang juga disebut moresco ini mula-mula memanfaatkan alat musik berdawai seperti biola, ukulele dan cello. Perkusi juga dipakai sebagaimana dalam Keroncong Tugu yang dimainkan komunitas budak Portugis asal Ambon di Kampung Tugu Jakarta Utara. Tahun 1880 hingga 1920 keroncong ini berkembang di Kemayoran dan Gambir dibaurkan dengan Tanjidor oleh orang Betawi.
Tahun 1891 lahir Sandiwara Komedie Stamboel di Surabaya yang pentas keliling ke Hindia Belanda, Singapura dan Malaya dengan kereta dan kapal api. Sebagai pembukaan dan selingan antar adegan diperdengarkan musik mars, polka, gambus dan keroncong. Dari sini muncul Keroncong Stambul yang berbaur dengan Tanjidor dalam irama cepat.
Sejak tahun 1920 hingga 1960 lagu keroncong berubah menjadi 32 birama akibat pengaruh musik pop Amerika yang melanda lantai dansa hotel-hotel di Indonesia. Lalu perkembangannya berpindah ke Solo dengan irama yang lebih lamban.
Pada masa ini dikenal beberapa jenis irama keroncong yakni, Langgam Keroncong, Stambul Keroncong, Keroncong Asli dan Gambang Kromong. Langgam Keroncong sudah memiliki bentuk baku, namun pada perkembangannya iramanya lebih bebas diekspresikan.
Keroncong Asli diawali oleh voorspel (prelude atau intro) yang diambil dari baris 7 mengarah ke nada awal lagu. Voorspel dilakukan oleh alat musik melodi seperti seruling/flut, biola, atau gitar. Sedangkan tussenspel (interlude atau intermezzo) ada di tengah-tengah setelah modulasi.
Gambang Keromong adalah salah satu gaya keroncong yang dikembangkan oleh Etnis Tionghoa. Gambang merujuk pada alat musik bilah kayu seperti marimba, sedang keromong adalah istilah lain dari kempul. Musik ini berkembang di Jakarta sekitar tahun 1949. Merujuk pada lagu “Gambang Semarang” karya Oey Yok Siang, musik ini juga berkembang di Semarang.
Perkembangan keroncong tahun 1960 dan selanjutnya masih di Solo dan sekitarnya, namun mulai muncul berbagai gaya. Perkembangan yang merujuk pada aspek lingkungan berikut tokoh musisinya itu melahirkan Langgam Jawa, Keroncong Beat, Campursari, Keroncong Koes Plus dan Keroncong Dangdut.
Langgam Jawa merupakan adaptasi keroncong terhadap musik gamelan, dengan penambahan instrumen berupa siter, kendang (kadang diwakili permainan cello ala kendang) dan saron. Juga ditandai bawa atau suluk berupa introduksi vokal untuk pembukaan.
Keroncong Beat dimulai oleh Yayasan Tetap Segar pimpinan Rudy Pirngadie di Jakarta. Sejak tahun 1959 mereka mampu memainkan musik keroncong untuk mengiringi lagu pop barat.
Campursari yang dipelopori Manthous (musisi Gunung Kidul) tahun 1968 menggabungkan gamelan dan musik keroncong.
Koes Plus juga dianggap berjasa dalam mengkolaborasikan keroncong dengan rock. Bahkan, “Keroncong Pertemuan” karya Koes Plus diketahui berstruktur bentuk campuran antara Stambul dan Keroncong Asli.
Keroncong Dangdut (Congdut) seolah menjawab derasnya pengaruh dangdut yang menggejala tahun 1980-an. Seiring dengan menguatnya campursari di musik populer etnis Jawa, sejumlah musisi memasukkan unsur beat dangdut ke dalam lagu-lagu Langgam Jawa (klasik maupun baru). Didi Kempot merupakan tokoh utama gerakan pembaruan ini.
Dalam perjalanannya, keroncong adalah seni musik yang memasukkan berbagai alat musik tradisi, seperti sitar, rebab, suling (bambu) serta kendang, kenong dan saron (sebagai satu set gamelan) ditambah gong. Namun secara standard, alat musik dalam orkes keroncong saat ini mencakup ukulele (cuk) berdawai 3 dari bahan nilon, ukulele (cak) berdawai 4 dari bahan baja, gitar akustik sebagai gitar melodi, biola (menggantikan rebab), flut (mengantikan suling bambu), cello betot (menggantikan kendang) dan kontrabas (menggantikan gong).

Festival
Festival berasal dari Bahasa Latin festa yang berarti “pesta”. Selanjutnya festival merujuk pada pengertian "pesta besar" atau sebuah acara meriah dalam rangka memperingati sesuatu. Itulah kenapa festival biasanya dirancang dengan detil dan terencana jauh waktu sebelumnya, termasuk festival kesenian.
Perencanaan itu meliputi latar belakang, gagasan, target & tujuan, peserta hingga teknis pelaksanaan untuk meraih esensi festival yang berkwalitas. Namun, hampir semua festival kesenian cenderung memfasilitasi keanekaragaman dan mutu capaian di wilayah mana festival itu diperuntukkan. Sehingga fungsi kurator berikut standard kualifikasi yang jelas dan terarah sangat menentukan. Festival juga tidak bisa lepas dari unsur kemeriahan, sebagaimana arti kata festa (baca pesta). Karenanya segala hal terkait festival mulai dari jadwal dan teknis pertunjukan membutuhkan peran stage manager yang mampu menjaga otoritas dan kemandiriannya dengan tepat.

pelangi, mojosongo-solo
30 Juli 2010


PUISI
YANG “MEWUJUD”


satu
ada yang bilang puisi adalah kristalisasi gagasan yang dituang oleh sastrawan dalam bentuk yang padat, ringkas, namun memiliki potensi pemahaman dan penafsiran yang luas. karena itu, multi tafsir (multi interpretable) sering dipakai sebagai permakluman manakala proses apresiasi puisi mengalami kebuntuan. ada yang percaya bahwa puisi adalah intisari karya kreatif dalam aktivitas kesusastraan. lantaran anggapan yang demikian, tidak mengherankan jika dikalangan sastrawan banyak yang merasa belum mantap dan matang posisinya manakala belum menulis puisi atau belum ditasbih sebagai penyair.
sebenarnya, dunia puisi tidaklah serumit sebagaimana yang diteorikan dalam ruang kelas dan perkuliahan. tidaklah sebertele-tele sebagaimana pembahasan dan proses analisa yang tertulis di buku-buku teori sastra. tidak pula seruwet proses pencanggihan analisa sebagaimana yang terjadi di rubrik-rubrik polemik media massa dan ruang-ruang diskusi/ seminar.
puisi itu cuma ungkapan perasaan, pikiran dan kejiwaan seseorang yang sesuai dengan pribadinya. jadi, sebagaimana media-media ungkap lainnya (pilihan kata saat bicara; pilihan titik, garis dan warna saat menggambar; atau pilihan gerak saat berjoget dan menari dll), puisi sifatnya juga mempribadi, berkarakter personal. menjadi agak “bermasalah” ketika puisi itu dihadapkan pada ukuran person-person lainnya, saat proses sosialisasi dan publikasi puisi itu terjadi.
karena tidak setiap person mempunyai pola referensi dan pengalaman yang sama dengan sang penulis puisi. sehingga pemahaman terhadap satu puisi karya seseorang sulit sekali mencapai kesepahaman total, paling banter hanya nyenggol atawa bersintuhan. meski begitu, tetap saja puisi (apalagi dalam berbagai bentuk terapannya; tembang, lagu, petuah, kata-kata bijak, jargon, semboyan, bahkan lirik dan syair) tetap saja memiliki daya pikat yang nyata. entah sebagai sarana komunikasi, aktualisasi, rekreasi atau inspirasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

dua
demikian pun, saat seseorang mencoba merepresentasikan suatu puisi dalam proses pembacaan di depan orang lain. pendekatan/cara pembacaan yang personal sifatnya berbaur dengan personalitas puisi. pemahaman pembaca terhadap puisi yang tengah dibacakannya, pola dan cara ucap kata-katanyanya, desah napasnya, ekspresi dan gerak-gerik yang secara alamiah (bukan artifisial atau teknis) mengikutinya, dan lain-lain. semua yang berujud sifat (& kebiasaan) personal itu terbawa serta dan turut mempengaruhi bangunan penampilan seseorang saat ia membacakan puisi di depan orang lain. kemudian, hal-hal yang personal itu bertemu dengan tafsir-tafsir personal lainnya yang berasal dari khalayak penikmatnya. ada yang nyambung, ada yang tidak. ada yang terpuaskan ada yang belum. tetapi tetap saja pertemuan (pemahaman) itu sifatnya tak pernah lunas total, namun selalu dialogis situasinya (meski dalam kerangka rasa, pikir dan selera).
sebagaimana puisi, belakangan ada yang mencoba merumuskan cara (tehnik) pembacaan puisi (yang sebenarnya) sebagai salah satu pendekatan untuk memperlancar proses pemahaman/dialog rasa, pikir dan selera. sayangnya, kerap kali proses perumusan tehnik baca puisi itu tak mempertimbangkan karakter personal dari orang-perorang yang bakal berkatian dengannya. atau lebih tepatnya, teori atau teknik baca puisi itu dibiarkan menenggelamkan (melibas habis) kekhasan personal yang sebenarnya bisa berpotensi memperkuat tampilan suatu pembacaan puisi.
coba toleh sebentar fenomena penyair-penyair indonesia yang kuat pembacaan puisi atas karya-karyanya sendiri; misal bang tardji, bang zawawi, ibrahim satah, hammid jabbar, mas darmanto, wiji thukul, gus mus dll. bedakan misalnya dengan kemampuan emha, timur, jose rizal manua atau mas willy yang mampu bagus membawakan puisi siapapun. atau aktor seni peran sekelas dedy mizwar, ikranegara, neno warisman yang belajar berbagai teknik keaktoran hingga mampu membawakan secara menarik, baik sebagai karakter tokoh di dalam permainan sandiwara panggung, film atau televisi. juga, saat mereka membacakan puisi, cerpen, stateman atau iklan dll. tapi juga jangan lupa, ingat pula bahwa ada mas sapardi, mas ahmadun, pak piek, triyanto dll, yang kerap tak mampu menampilkan karya sastra mereka yang bagus dan khas ke wilayah peristiwa “panggung”/tontonan.
di kelompok pertama, kekhasan personal itu lahir dan dipertahankan sejak mereka menulis (karya sastra) puisi dan berlangsung (intens) hingga mereka merepresentasikannya ke dalam satu ruang pembacaan (karya “panggung”/tontonan). secara tak langsung ada proses eksplorasi (dikuati dengan hal-hal yang personal) yang semakin dalam dan berlanjut, sejak dari saat mereka menyiapkan karya sastra hingga ke karya “panggung”/tontonan. mereka adalah person-person yang mampu menyampaikan gagasan/kegelisahan lewat puisi (larik-larik teks di kertas, buku dan media penerbitan), sekaligus mampu menerjemahkannya lewat peristiwa pembacaan (tampilan; suara, ekspresi, gerak, gesture dll) di depan orang/penonton. namun, lantaran kekuatan karakter khas (personal) yang luar biasa, harus diakui mereka kerap gagal menerjemahkan karya sastra (larik-larik puisi) orang lain di peristiwa pembacaan (tampilan).
di kelompok kedua, person-person itu (maaf) seperti amphibi yang hidup dan menguasai ketrampilan untuk hidup di dua alam. yakni, alam sastra (kepenulisan) dan alam stage (pemanggungan). tetap dengan kekuatan personalnya, mereka masing-masing mampu menerjemahkan dengan baik karya sastra (puisi) mereka sendiri maupun milik orang lain, di wiliyah pembacaan (tampilan). meskipun (kalau saksama) kita masih bisa mencermati kekuatan khas masing-masing saat melakukan penampilan (pembacaan puisi). misal, mas willy cenderung berciri gagah, heroik, dengan keseluruhan pola ucap, ekspresi dan gerak yang terkontrol dan tertata. emha cenderung berkesan cair, komunikatif dan tak berjarak dengan penontonnya. beda juga dengan mas jose yang kuat ekspresi karikaturalnya; lincah dan enerjik. kelompok kedua ini biasanya adalah kreator-kreator yang menyandarkan aktivitas kreatifnya (sekali lagi seperti amphibi) di dua alam. di samping sebagai sastrawan yang menyampaikan gagasannya sendiri lewat karya sastranya, mereka kadang juga dituntut untuk menjadi media “penampilan” bagi gagasan (teks sastra) orang lain. cobalah simak perjalanan hidup mereka yang pernah/masih menjadi aktor seni peran (mempresentasikan gagasan/naskah orang lain). atau perhatikan perjalanan hidup emha yang pada suatu ketika dulu, musti melakukan pendampingan secara langsung atas berbagai aktivitas politik di kalangan mahasiswa. terlibat dengan “panggung-panggung” nyata di berbagai demonstrasi. lebih nyata dari panggung/ruang pembacaan puisi. “saat itu puisi-puisi saya babak belur” adalah pengakuannya yang paling jujur atas kehidupan dua alamnya.
kelompok ketiga jelas, mereka adalah person yang secara sadar mesti mampu menjadi media terbaik atas karya kreatif (tulis) apapun, dengan potensi keaktorannya (seni perannya). semakin, mereka mampu menekan (menyembunyikan) kekhasan personalnya, semakin mendekati kesempurnaannyalah fungsi seni peran yang mereka kuasai sebagai media menyampaikan berbagai gagasan dari beragam karya teks (sastra). karena, hanya dengan cara menekan kekhasan personal itulah, bias dan tafsir alamiah yang sifatnya subyektif (dan bisa mengurangi kadar gagasan sastra tertentu) bisa diminimalisir. hingga karya sastra (teks) menemukan “tubuh” yang benar-benar mampu melahirkannya dalam wujud peristiwa penampilan. dengan kata lain karena keberadaan dan keahlian mereka, karya sastra/teks (yang semula diwakili ejaan, tanda baca, huruf dan hukum-hukum tulisan lainnya) mampu hadir nyata dan mewujud.
kelompok berikut yang tak boleh kita lupakan adalah, sekelompok personal yang mampu menemu dan meramu gagasan yang menarik, kemudian menerjemahkannya dengan sangat baik dan spesifik lewat karya sastra. keberhasilan mereka di wilayah ini tidak dengan serta merta menggeret mereka untuk menjadi media yang tepat dalam merepresentasikan gagasannya itu di wilayah lain yanglebih konkret (peristiwa pebacaan puisi, misalnya). inilah nyatanya, dan kenapa; tidak setiap penyair mampu dengan tepat dan baik membacakan puisi; bahkan atas puisinya sendiri.

empat
dan lalu, yang bukan sastrawan (penyair), bukan orang yang bergerak dan berprofesi di seni peran (guru bahasa/sastra misalnya); di mana mesti menempatkan diri dalam obrolan ini?

pelangi, mojosongo-solo
14 nopember 2008


DARI FESTIVAL, SINDEN HINGGA NUKLIR DAN BONGKAR JALAN

April 2003 saya diundang menjadi peserta Festival Puisi Internasional “Of The Road” di Bremen Jerman. Meski festival itu sendiri hanya berlangsung selama 2 hari 2 malam (tanggal 13-14), namun lantaran cara berpikir panitia yang modern dan holistik telah memberi kesempatan kepada saya untuk diundang tampil di beberapa lembaga lainnya, di luar acara festival itu.
Waktu itu, manajer festival (yang sekaligus bertindak selaku sponsor saya selama di Jerman) telah secara responsif menjalin kerjasama dengan dua universitas (Universitas Berlin dan Universitas Passau), dua SMU dan satu Komunitas Diskusi Sastra Indonesia. Masih ada satu Universitas lagi yang gagal saya datangi undangan sebagai narasumber mereka, lantaran kepuritan saya yang tak menjenguk akses komunikasi (internet) secara periodik. Di samping itu masih ada jadwal-jadwal pertemuan informal dengan sejumlah seniman, baik yang berasal dari kalangan sastra, mahasiswa yang belajar soal Asia Tenggara dan Indonesia, stasiun radio lokal maupun pemusik.
Saya terperangah, betapa satu aktivitas yang melibatkan publik bisa direncanakan sedemikian rupa hingga melibatkan lembaga-lembaga lain, baik yang berkaitan langsung maupun tidak. Betapa satu aktivitas yang digagas dan diselenggarakan oleh suatu pihak (komunitas) bisa mengakses dan terakses serta mengakomodasi dan terakomodasi saling berkepentingannya dengan komunitas/ lembaga lain secara sinergik. Di sana, di salah satu negara Eropa, di salah satu komunitas masyarakat yang menganut kesatuan gagasan, tindakan dan hubungan sosialnya.
Masih soal perjalanan saya di sana; saya lebih terperangah tatkala di dalam mobil yang kami tumpangi, teman yang bertindak selaku pendamping selama di sana bercerita dari belakang kemudinya. Sambil menunjuk satu tempat di bawah jalan layang yang kami lewati, ia bercerita bahwa di tempat yang dirujuknya itu diletakkan kamera tersembunyi milik lembaga pemerintah (semacam poltas; polisi lalu lintas) di sana. Kamera itu secara terus menerus merekam gambar seluruh pengguna jalan yang berkendara di jalan itu. Kalau ada sopir yang ugal-ugalan mengemudi kendaraannya, hingga menerjang aturan lalu lintas yang telah ditentukan --atau untuk pelanggaran yang paling sederhana sekalipun; semisal melampaui batas kecepatan yang ditentukan-- petugas dengan gampang akan melacak pemilik kendaraan itu, menyelipkan surat denda di bawah pintu rumahnya. Atau, kalau si empunya rumah tak ada --sementara mobil yang dikendarainya terlihat parkir di halaman atau di depan rumah-- tagihan denda itu akan dijepitkan di gagang pembersih kaca mobil bagian depan. Tak ada yang bisa dilakukan oleh pelanggar aturan lalu lintas itu untuk memprotes rekaman video poltas, kecuali segera mentransfer uang denda ke kantor kas negara. Bukan ke kantor polisi!
Teman tadi juga bercerita, pernah salah satu kawannya menyenggol mobil orang di lokasi parkir sebuah super market. Karena merasa sepi dan tak ada satu orang pun yang melihat (termasuk pemilik mobil yang disenggolnya), kawan sang teman tadi langsung ngeloyor pergi, menancap gas mobilnya pulang ke rumah. Namun apa daya, sesampai di rumah telah menunggu petugas poltas yang segera menyerahkan surat denda sebagai “buah” perbuatan tak bertanggungjawabnya menyenggol mobil orang lain di super market tadi. Rupanya, saat kejadian itu ada seseorang yang berhasil mencatat nomor plat mobilnya. Sama seperti pelanggar aturan lalu lintas yang berhasil direkam kamera video polisi, tak ada ada yang dilakukan kawan si teman itu kecuali membayar denda ke kantor kas negara. Bukan ke kantor polisi!
Sebab, sang kawan itu toh tak akan mempu menghapus jejak lecet di mobilnya. Atau kalau ia sempat menghapus lecet di mobilnya dengan cara membawa ke bengkel atau mengecatnya sendiri, polisi tetap bisa mengakses bengkel mana yang digunakan untuk memperbaiki mobil itu. Atau toko mana yang dijadikan tempat membeli cat oleh sang kawan. Hampir semua aktivitas yang berhubungan dengan publik bisa diakses oleh petugas negara, untuk kepentingan negara melindungi warga negaranya.
Masih soal perjalanan saya di sana; seorang pemerhati sastra dari Jepang yang tertarik mendokumentasi festival itu mengalami musibah kehilangan tas di salah satu stasiun kereta. Tas itu hilang pagi hari sekitar pukul 08.00. Siang harinya sekitar pukul 12.00 tas itu telah diketemukan polisi di kota lain yang berjarak sekitar 90 km dari tempat ia melaporkan kejadian itu ke polisi.
Saat menghadiri undangan membaca puisi sekaligus menjadi narasumber diskusi di Universitas Passau, saya berangkat dari Bremen naik kereta api cepat yang tiketnya seharga kurang lebih 80 euro (waktu itu 1 euro = Rp. 10.000). Teman dari Jepang itu tanpa sepengetahuan saya telah membeli selembar tiket untuk 2 orang (maksudnya dengan saya) Bremen-Passau P/P. Padahal tanpa sepengetahuan dia, manajer saya telah membelikan selembar tiket (satu orang) untuk saya Bremen-Passau P/P. Saat kami bertemu di Stasiun Kota Bremen, kami sama-sama belum menyadari hal itu. Baru ketika saat petugas memeriksa tiket, kami sama-sama menyodorkan tiket. Kami bingung, petugas juga bingung, lantaran kami menyerahkan tiket yang nilainya sebanding dengan tiket perjalanan untuk 3 orang. Sementara kami hanya berdua. Anehnya, petugas menyarankan untuk mengurus pengembalian 1 tiket yang tak terpakai ke stasiun berikutnya. Karena saya sedang berkonsentrasi pada event di Passau, kami memutuskan untuk mengurusnya esok hari seusai acara di Passau. Benar! Esok harinya kami mendapat pengembalian uang sebesar yang kami bayarkan untuk membeli 1 tiket Bremen-Passau P/P, dari petugas di Stasiun Kereta Passau. Tanpa potongan sepeserpun!
Waktu pulang kembali ke tanah air, begitu menginjakkan kaki di Bandara Soekarno Hatta, entah kenapa saya tiba-tiba ingat rencana pembangunan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di Lereng Muria, Jepara, beberapa tahun lalu. Saya bersyukur bahwa rencana proyek itu akhirnya dikuburkan (entah di masa datang akan dibongkar lagi kuburannya atau tidak). Tapi saya bersyukur dan melupakan kenyataan dan pengakuan saya akan kemampuan putra-putri Indonesia menguasai teknologi itu. Rasa syukur saya melupakan kepintaran BJ Habibie yang mampu dipercaya mengepalai pabrik pesawat terbang di Jerman. Ya, ia pernah menjadi ahli pesawat terbang yang di akui kepiawaiannya di Jerman! Di Jerman!
Rasa syukur saya melupakan kepandaian astronot perempuan kita yang lolos diseleksi NASA, namun gagal mengangkasa lantaran jadwal keberangkatan pesawat ulang alik yang melulu ditunda, sementara usia astronot kita semakin tua. Rasa syukur saya melupakan para jawara olimpiade matematika, fisika atau kimia yang pemenangnya adalah pelajar Indonesia. Melupakan keahlian pekerja kasar di bengkel-bengkel las yang memodifikasi motor biasa menjadi mirip Harley Davidson dan motor besar lainnya. Melupakan keahlian tangan trampil para penjahat yang membuat senjata api rakitan sendiri. Melupakan kemampuan ahli arsitektur dan perancang bangunan yang menemukan konsep pembangunan jalan layang berstandar internasional.
Rasa bersyukur saya cuma dipenuhi oleh kengerian saya jika PLTN jadi dibangun oleh pengelola proyek yang tak teragukan kepandaiannya namun menyimpan mental korup dalam pelaksanaan pekerjaannya. Jika ketebalan aspal yang dikorupsi, para pengendara di jalanan masih bisa melihat, menghindari lubang dan kebocoran aspal itu. Tapi jika standard kontruksi bangunan nuklir yang dikorupsi kwalitas atau ukuran ketebalannya, hingga merembeskan enerji nuklir ke udara bebas di sekitarnya, apakah masyarakat mampu mendeteksi dan menghindarinya?
Usut punya usut, ternyata mulusnya landasan Bandara Soekarno Hatta yang nampak dari penglihatan saya lewat kaca jendela pesawat itulah yang melempar ingatan saya secara tiba-tiba ke masalah PLTN. Saya masih melihat adanya ketidaksinkronan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan mentalitas kita. Melesat maju di satu sisi, kemerosotan hebat di sisi lain.
Konon, dahulu kala para pesinden pendendang tembang-tembang jawa yang adiluhung dan penuh nilai kemapanan berikut norma kehalusan mengenakan kain dan kebaya dalam kesehariannya. Lantaran, itu turut mempengaruhi sikap dan pembawaan mereka dalam kehidupan sehari-hari, juga tutur kata dan bahasanya, juga penafsiran, penjiwaan dan laku geraknya tatkala menyanyikan tetembangan dengan duduk timpuh atau bersimpuh. Kini, para sinden yang sering mengiringi pakeliran pentas wayang kulit lebih mengenal celana jeans, kaos atau baju sebagai pakaian keseharian. Sehingga penjiwaan mereka terhadap syair-syair tembang yang adiluhung itu terbelah. Cara mereka menjawab pertanyaan Dalang di pementasan kerap terasa norak, vulgar dan jauh dari kepatutan, menyoal uang dan guyonan yang menyerempet tema seksual. Jauh dari proses simbolisasi serta standard etika dan estetika yang mereka nyanyikan lewat lirik-lirik tetembangan.
Mungkin sama terbelahnya dengan sejumlah kerja pemerintah kita dari dulu hingga sekarang. Sama tak menyatunya antara perangkat negara yang satu dengan lainnya. Sama tak sinerginya antara lembaga pemerintah yang satu dengan lainnya.
Semisal, SKB (Surat Keputusan Bersama) antara Menag (Menteri Agama) dan Mendagri (Menteri Dalam Negeri) yang mengatur proses perijinan berdirinya tempat ibadah salah satu agama harus melewati proses disetujui secara tertulis yang dibuktikan oleh tanda tangan masyarakat setempat oleh sebanyak 60 orang pemeluk agama yang bersangkutan dan 90 orang pemeluk agama lainnya. Namun, selalu saja masih ada kasus, tanda tangan tersebut belum terpenuhi, tapi IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) sudah turun. Selalu saja masih ada protes dari masyarakat, tanda tangan masyarakat belum lengkap, tapi bangunan sudah mulai berdiri atau malah sudah jadi.
Pasal-pasal dalam semua Undang-undang menyoal korupsi dari waktu ke waktu diperbaharui dan diperketat potensi pelanggarannya, namun para koruptor kerap lolos sebagian besar bukan karena kecanggihan modus operandinya, namun lebih karena tak bersinerginya peran dan mental antar elembaga peradilan.
Kebijakan memajukan sektor pertanian digembar-gemborkan, namun pemerintah menggembosi sendiri dengan kasus kelangkaan pupuk yang tak pernah usai, atau mengamputasinya dengan import beras dari luar negri.
Pulau-pulau kecil jauh dari perlindungan, ada beberapa yang malah mulai di kuasai warga negara asing atau negara asing. Pemerintah menyerukan kebijakan untuk meningkatkan keutuhan wilayah NKRI, tapi patroli TNI AL personil, peralatan dan pendanaan.
Flu burung mengganas tanpa deteksi dini dan dilawan dengan keputusan untuk meng KLB kan (Kejadian Luar Biasa), namun instansi terkait (kepanjangan tangan Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian) di lapangan masih sebatas saling tuding dan saling lempar kewenangan.
Jerat hukum pelaku Pornografi dan Pornoaksi dipersiapkan dan diperdebatkan dalam Rancangan Undang-undang yang menelan dana besar, namun kurikulum pendidikan agama dan budi pekerti tak dilirik sama sekali sebagai antisipasi.
Manipulasi kontrak karya Freeport hanya menyediakan kekayaan sepihak bagi operator kontrak dan petinggi negara di Jakarta, namun pengelolaan Blok Cepu tetap tak belajar dari kemungkinan lepasnya Papua sebagai sebuah negara merdeka. “Buah” dari pertentangan kebijakan antar instansi pemerintah atau antar pusat dan daerah.
Dari dulu sampai sekarang, selalu masih kita temukan kejadian yang sederhana! Bulan ini petugas salah satu instansi pemerintah mengadakan perbaikan dan pengaspalan jalan dengan sempurna, bulan berikutnya petugas dari instansi lain membongkar jalan baru itu untuk memperbaiki pipa air minum di bawahnya.
Pengusaan ilmu dan tehnologi kita sudah jauh lebih maju. Perangkat kehidupan di kantor-kantor, perusahaan, fasilitas publik dan perumahan telah lebih modern. Perangkat hukum, perundang-undangan dan berbagai aturan serta kebijakan telah berdasarkan paradigma global. Namun mentalitas kita masih saja terbelakang.

pelangi mojosongo, solo
28 maret 2006


FACE BOOK, SUMUR DAN WC UMUM

30 tahun lalu, saat kecil aku tinggal di kampung. Kamar mandi dan wc belum perlu dimiliki secara pribadi. Seperti yang lain, pagi dan petang keluargaku antri ke sumur dan wc umum. Ada 2 sumur umum dan satu milik pribadi (yang dibuat terbuka oleh pemiliknya). Warga melunaskan hasrat mandi, cuci dan mengambil air untuk memasak di sana. Wc umum cuma satu, namun 6 bilik tersedia di sana.
Setiap hari pemandangannya sama di sumur dan wc itu. Saat hari belum pecah dan gelap masih tersisa, para ibu dan remaja putri melakoni sift pertama. Mereka mandi dan mengambil air, sebelum keluarganya beraktivitas berlambaran sarapan, ngeteh atau ngopi. Mereka juga bergegas buang hajat di wc umum, sebelum para bapak dan remaja putra bangun.
Ibu-ibu yang punya bayi atau cucian, melunasinya selang satu sift berikutnya. Sebab sebelum sift untuk itu, lebih dulu kaum bapak dan remaja putra mandi atau buang hajat.
Sore hingga petang, lagi tempat itu dipadati warga berikut hasrat alaminya. Di tengahnya (menjelang tengah hari hingga sore), lengang. Kecuali yang terjebak jadwal darurat; kesiangan, sakit atau punya tamu yang butuh air dan buang hajat.
Aku ingat, selalu ada antrian saat “jam-jam sibuk”. Di wc umum, di tiap pintu pengantri siaga. Sisanya bergerombol dalam kelompok-kelompok kecil tak jauh dari pintu. Tiap kelompok mengirim “sinyal” bahwa mereka berhasrat masuk bilik tertentu, sesuai jarak kelompok itu ke salah satu pintu.
Banyak tetangga fanatik terhadap bilik tertentu. Entah atas pertimbangan kebersihan atau kenyamanan. Kebersihan tiap bilik berubah saban hari, beda dengan kenyamanan. Bilik terdepan diamini paling nyaman sebab tak ada perasaan dipantati orang, saat buang hajat. Jadi, bilik ini paling banyak penggemarnya. Kenyamanan lain menyangkut efisiensi waktu. Hampir semua saling hapal, siapa yang buang hajat secara cepat dan siapa yang lambat. Bagi yang tergesa, lebih suka menilik siapa yang ada di balik bilik, katimbang menimbang kebersihan dan kenyamanan.
Di sumur, dekat timba yang tengah digunakan, ember-ember dikawal pemiliknya. Sedang di kamar mandi, satu atau dua pengantri berdiri di pintu. Sisanya ngobrol agak jauh dari situ.
Kuingat, obrolan mereka nyaris sama dengan obrolan di facebook yang marak belakangan. Temanya jumpalitan, nyelonong, keluar masuk begitu saja. Tanggapan kerap tak terduga; kadang sepi kadang berjejal, sejalan kebutuhan. Ada yang serius, ada yang gojekan dan mengubah apapun jadi ledekan. Ada yang seolah serius namun buntutnya cuma sarana merebut fokus, lalu melempar tema baru seenak udel. Itulah kenapa obrolan tetanggaku berumur sesaat, lebih bersifat kemana angin kepentingan dan dominasi pembicaraan melenggang.
Secara waktu, obrolan tetanggaku di sumur dan wc umum tergiring mapan, pagi dan petang secara sift-sift-an (sift laki-laki beda dengan perempuan). Jika wigati dan butuh privasi, mereka akan mojok menjauh dari kelompok lalu rasan-rasan. Atau mengisolir; glenikan diluar waktu mapan.
Konon, pengguna facebook pun punya kemapanan, sejalan sistem waktu manusia modern. Pagi sebelum hingga awal jam kerja (ada yang facebook-kan bareng dengan start kerja) dan sore purna kerja. Pengin intens? Keluar dari kedua waktu itu. Jika makan siang tidak moot, facebook jadi menu pengganti. Pengin leluasa? Facebook-kan malam usai istirah atau menjelang ketiduran. Pengin lebih serius tinggal hengkang; chating, setelah sebelumnya kencan! Nyaris tak beda dengan obrolan tetanggaku dari sisi ruang, waktu dan kepentingan.
Sama-sama bersumber pada kegelisahan keseharian, tetanggaku merujuk seputar kehidupan kampung. Bermula dari soal pribadi, kerja, keluarga, sehubungan situasi kampung sehari-hari. Kerap ujungnya bermuara pada keluh kesah ekonomi. Bedanya, di facebook hal-hal itu dieksplorasi lebih rumit dan dalam, ujungnya kerap kegetiran dan kesepian. Di tengah-tengah samudera wacana nasional bahkan internasional.
Jika tema obrolan di kampungku “berjenis kelamin” sesuai dengan sift-nya, maka facebook merontokannya. Tak ada batasan tema menurut jenis kelamin, profesi, usia bahkan kedalaman wacana pengguna. Tak perlu risi atau malu lantaran tak ada ekspresi wujud yang merujuk orang ketinggalan obrolan atau tak menguasai tema (saat ia tak menulis tanggapan). Sebab, peristiwa komunikasi diwakili huruf, simbol dan ejaan yang tak seleluasa wajah, tubuh dan gerak-gerik dalam mengirimkan sinyal kejujuran dan makna sebenarnya (menyertai bahasa yang diucapkan).
Komplekstitas perbincangan facebook lebih tak terpenjara oleh ruang dan waktu katimbang obrolan tetanggaku di sumur dan wc umum. Namun, tingkat penyimpangan makna bahasa (tulis) bisa malih rupa keterbatasan. Di samping (bagi sebagian pengguna) facebook mudah diolah menjadi keleluasaan tanpa batas. Siapa yang tahu; apakah seseorang tengah menulis pikirannya linear atau paradoks dengan keinginan dan kejiwaannya saat itu?