Kisah

DEMO KAUM BINATANG

Angin menggandeng debu jalanan. Mega berarak bersama sinar matahari yang menyengat. Mereka berlari menuju ke arah sama, sambil menyanyikan lagu yang mengggema di setiap ruang.
…..
“Maju tak gentar, membela yang benar
Maju tak gentar, hak kita diserang”
…..

Serombongan kaum binatang berjalan tergesa-gesa. Mereka tak nampak sama sekali sedang berwisata. Atau latihan baris-berbaris untuk peringatan tujuhbelasan.
Mereka lebih menyerupai pengungsi bencana alam; kebakaran hutan, banjir atau gempa yang rutin datang di alam manusia. Dibiarkan sebagai modal bisnis antar pejabat dan birokrat, untuk memark up kalkulasi bantuan serta penggalangan suara menjelang pemilihan.
Serombongan kaum binatang bergegas. Mereka jelas bukan pengungsi akibat perang Irak-Amerika. Atau Republik melawan GAM. Juga bukan korban pertikaian antar etnis di Indonesia. Mereka juga bukan masa yang lari dari pertempuran antar warga kota, yang bermula dari panggung teler bersama. Mereka bisa dipastikan bukan korban yang tunggang langgang dari ledakan bom hotel berbintang. Bukan kumpulan teroris lokal apalagi internasional. Mereka juga bisa dipastikan bukan rombongan jamaah-jamaahan yang diisukan aparat keamanan sebagai dalang kerusuhan.
Bukan!
Yang jelas mereka adalah jamaah hewaniyah! Jamaahnya para hewan!
Mereka jelas usai melakukan perjalanan jauh. Yang berambut, awut-awutan seluruh rambutnya. Yang berbulu, kumal dan bau bulunya. Yang bermata merah, kian menyala (asli, bukan merah birahi di lambang parta-i). Yang putih, kian buram saja (lantaran tak kenal kacamata). Yang bermulut, bisu dan membusa lantaran dahaga. Yang berperut, merit perutnya bukan lantaran diet atau tak doyan makan. Tapi lantaran tak sempat mampir di cafe atau restoran. Kalaupun sempat jajan, pasti mereka ditolak mentah-mentah, lantaran tak jelas mata uangnya. Apalagi departemannya (meski kalau ada, barangkali lebih jelas dari departemen keuangan kita; lebih lugu dan jujur karena lemah matematikanya).
Mereka tak lagi bisa membedakan antara kencing, berak dan keringatan lantaran rute perjalanan yang amat panjang. Yang bertangan, tinggal lambaian lunglainya. Yang berkaki, kaku-kaku kakinya. Kekokohan hilang, tanpa minuman suplemen, jamu kuat atau susu anti keropos tulang.
Serombongan kaum binatang terdiri dari berbagai bangsa. Ada yang melata, merangkak, berguling, berjalan, berlari, meloncat dan terbang di angkasa, tertib menempati fungsi dan cara berpindahnya. Tak seperti manusia yang tak pernah belajar dari kemampuannya. Cuma memaksakan kemauan; terjebak di kemacetan apa saja. Kemacetan jalan, kerja, birokrasi hingga suksesi dan lokalisasi.

“Stop!”, tiba-tiba parau suara Keledai seolah meledakkan tenggorokannya. Bangsat yang berlari paling dekat, serasa pecah gendang telinganya. Seluruh rombongan kontan berhenti atau paling tidak berusaha berhenti. Ular langsung melingkar. Kadal dan Buaya saling berpandangan. Monyet, sembari memburu kutu menarik ekor Si Asu. Babi kerepotan mengendalikan lajunya, dan memilih menabrakkan dirinya ke tempat sampah.
“Pak Dalang, wedhus sampeyan iki!”, lanjut Keledai. “Mongsok kita mau diajak ke lokalisasi?! Pakai apa?”
“Pakai ini dhong, kalau ngomong!? Jangan pakai ini! Siapa yang ngajak ke sana?!”, tangkis Si Pencerita sengit sambil menggoyang pantat usai menunjuk jidat.
“Tadi, Sampeyan ngomong?! Wedhusi, mau mungkir?!”
“Siapa yang ngomong gitu?! Kamu yang wedhus!”

Binatang-binatang coba melerai.

“Enak saja, aku ini keledai! Wedhus!”
“Embeek…! Yang wedhus betulan aja diam saja kok, malah pada lempar-lemparan wedhus!”, Sang Kambing cool berkata, sembari melenggang dari belakang. “Lagian, kalian ini embeeek…, sama-sama sudah lupa kesepakatan awal. Kalau emosi kelihatan asli, embeek…. Yang manusia embeek…., yang keledai embeek…., sama-sama rendah. Jadinya embeek….. menempatkan binatang lain sebagai sasaran kemarahan. Umpatan”.

Pencerita dan Keledai sama-sama bergumam pelan, “Wedhus,… “

“Embeek… masalahnya apa?”, Si Kambing menyambung.
“Dia yang mulai!”
“Kamu yang nggak ngerti bahasa sastrawi!”
“Embeek… hi… hi….hi…, seperti itu kok, sastrawi”, timpal Si Wedhus. “Pak Dalang, kamu ini wedhas-wedhus, wedhas-wedhus, kangen, ya?”
“Lha memang namanya itu, kok?!”, kilah si pencerita.
“Grook,… groook,… itulah masalahnya”, Tuan Babi mencoba menengahi. “Kesamaan nasib sebagai korban pelecehan groook…, atas nama-nama kita. Itulah yang sudah kita sepakati menjadi pemersatu perjalanan groook…, ini. Bertahun-tahun kita berjalan, mengadu ke sana-ke mari, ya hanya untuk membersihkan nama groook, kita. Nama kaum binatang yang telah sekian lama dilecehkan manusia groook…, groook….”
“Betul!”, sahut Bangsat. “Sejak kakek nenekku sampai anak cucuku, Bangsat namaku. Binatang sederhana yang katanya tak enak baunya bagi manusia. Binatang mbrengkele yang bikin merah dan gatal-gatal gigitannya. Tapi bukan berarti lantas namaku boleh diobral sebagai umpatan. Aku bau apeg karena lingkungan yang diciptakan manusia. Aku menggigit karena disediakan daging & pantat empuk manusia. Para pantat yang seenak udelnya duduk tanpa mengerti & merawat tempat duduknya. Aku, pejuang bangsa Bangsat, mewakili kaum Bangsat tak rela martabat kaumku dilecehkan. Aku, putra daerah asli kaum Bangsat, bergabung dengan para satria ini, untuk membela nama kami. Bukan sebaliknya, malah jadi olok-olokan diantara kalian! Sekali Bangsat, tetap Bangsat! Hidup Kaum Bangsat! Merdeka atau mati! Biarpun bumi bergoncang, kami tetap Bangsat!”
“Huaaa,…huaa,….”, Lik Buaya tiba-tiba menangis meraung-raung sambil menggendong Kadal di punggungnya. Ia merangkak perlahan ke depan. Air matanya tumpah membekas di setiap jengkal tanah yang dilaluinya. Sementara si Kadal cengar-cengir; entah salah tingkah, entah menyiapkan tulah. Sembari mengibas-ibaskan ekornya Lik Buaya berkata; “Aku stress berat,.. huaaa,… berkali-kali kita mengalami ini. Berdebat, otot-ototan, berkelahi saling menghina diri,.. huaa….”
“Ssst,… hati-hati, air mata buaya,..” bisik Thole Kadal.
“Moooaaah,… cangkeme!”, hardik Bang Sapi memperingatkan Kadal.
“Padahal, sanak keluargaku di Kampung Rawa, sangat menaruh harapan padaku saat aku pamit bergabung dengan kalian. Mengadu nasib, menghadap para pembesar kehidupan untuk membersihkan nama kami yang direndahkan; hanya karena mata kami yang selalu berair mata,..…”
“Aiirr mata buaya,..”, sahut Thole Kadal lebih keras. Beberapa hewan tak senang dengan tingkah Si Kadal. Sang Kadal buru-buru mencoba menyelamatkan posisinya. Ia berkata;
”Air mata Buaya, Kambing Hitam, Ular Beludak, Babi Ngepet, Dagang Sapi dan dikadalin, adalah sejumput kecil kasus-kasus pelecehan terhadap kaum binatang yang telah dilakukan oleh bangsa manusia. Masih ada monyet, jaran, jangkrik, wedhus, trenggiling yang direndahkan kedudukannya oleh manusia, termasuk asu!” Semua binatang terkesima mendengar kelincahan Thole Kadal membalik suasana. Dari kemakinya yang mboseni malih rupa empati.
“Dan, lewat perjalanan kita yang gegap gempita serta didukung penuh oleh kaum perkasa para binatang, terbuktikan! Bahwa tokoh-tokoh yang kita anggap menguasai kehidupan dan punya kapasitas mendengar protes kita serta kita ramalkan bakal mampu merubah keadaan, ternyata kosong belaka! Nol besar! Zero! Nisbi alias nihil!”
“Betul! Betul!!”, para binatang menimpali.
“Dari Pak RT, Pak RW, Lurah Camat, Bupati Gubernur, Polisi dan Menteri, hanya berjanji menampung aspirasi. Tanpa paham apa artinya menampung aspirasi, yang bisa lebih berbahaya dari menampung air. Air kelihatan, apakah akan menjadi bah atau aliran. Sehingga bisa disiapkan mungkin sungai, mungkin bendungan. Atau cukup selokan. Tapi aspirasi? Maya dan gamang, apalagi kalau cuma ditekan dan dijinakkan!”, Kadal lancar berorasi. Sambil naik ke kepala Buaya ia melanjutkan.
“Pengusaha, setali tiga uang. Mereka hanya mau keuntungan. Ahli hukum dan agamawan cuma mengajukan alasan waktu kita datang. Mereka bilang; Sorry, gugatan Saudara-saudara salah alamat. Saudara-saudara belum mempatenkan nama-nama Saudara. Barangkali Mungkin Saudara-saudara bisa mulai dengan mencatatkan diri di lembaga kependudukan. Atau cari saja KTP dan akte kelahiran. Gampang asal bisa bayar. Mau yang lama menengah atau langsung jadi; tergantung komisi. Belum ada undang-undang perlindungan terhadap nama binatang. Kalau perlindungan terhadap nasib binatang langka ada.”, Kadal nyinyir mengingat berbagai peristiwa lalu itu. Sekarang keluar lidahnya lebih jelas keluar masuk mulutnya. Tiba-tiba ia menghentak.
“Bah! Apakah harus menjadi langka dan tersia untuk mendapat perhatian?! Kenapa penderitaan batin kita yang tertekan karena nama yang dilecehkan bukan bagian dari perlindungan kaum binatang?!”
Para binatang kini mulai berkerumun membentuk lingkaran. Sementara Si Kadal beranjak ke punggung gajah melalui belalainya. Bagai berdiri di atas podium raksasa, ia melanjutkan pidatonya.
“Agamawan, masa allah! Kitab-kitab mereka hanya mengajarkan larangan dan anjuran, surga dan neraka, halal dan haram! Tanpa ada jawaban dan alasan, kenapa diantara kita ada yang nista, hina dina, sementara yang lain utama dan mulia! Seniman, wah paling payah! Sepertinya membela tapi sebenarnya memeras untuk keuntungan pribadi. Mereka merubah kesengsaraan kita menjadi keindahan karyanya. Mereka seolah mengangkat derajat kita padahal menjatuhkannya. Merendahlan diri meningkatkan mutu! Di hadapan kita mereka merendah, di hadapan manusia mereka meraih kwalitasnya. Seperti Pak Dalang ini, misalnya!”

“Lho?!” Pak Dalang kaget “Tapi tanpa aku, penderitaan kalian tak akan diketahui manusia?! Kalian tak akan didengar tanpa kutulis ceritanya!”
“Ya, sebaliknya, Pak Dalang tak punya cerita tanpa kehidupan kami yang sesungguhnya!”, sergah Kadal
“Artinya, Pak Dalang tak bisa mendalang tanpa cerita ini, kehidupan kami”, sahut Singa.
“Itu sama saja Pak Dalang tak dapat job manggung! Termasuk di sini sekarang ini!”, imbuh kera.
“Zero! Nihil alias nisbi! Tak ada uang, tak ada kehormatan!”, Kadal ketus. Suasana tiba-tiba senyap. Nyaris menegang.

“Saudara-saudara seiman, secita-cita!”, tiba-tiba Onta menyembulkan lehernya. “Kita tidak boleh terlalu lama terjebak dalam ketidakpastian ini. Kita pantang berputus asa. Telah separoh lebih perjalanan kita mempertanyakan nasib. Jarak kita kembali pulang lebih panjang katimbang jarak kita ke tujuan.”
“Tapi, Wan Onta, kepada siapa lagi kita meminta kebijaksanaan?” kata Sang Udang. “Memang lama saya geregetan dibilang binatang yang sembunyi selalu di balik batu. Cuma, kemana lagi kita mengajukan tuntutan?”
“Oe’,…oe’,… bagaimana kalau kita menghadap presiden atau ke DPR?”, usul Cacing sambil malakukan kebiasaannya; menggeliat, seperti kepanasan.
“Alaah, mana mungkin mereka beda dengan pejabat lain yang telah kita temui. Bangsa manusia itu kan bangsa yang haus panutan. Mereka bertingkah laku seperti tokoh-tokoh lain yang lebih besar pengaruhnya, lebih tinggi kedudukannya!” sambung otak Udang yang diwakili mulutnya.
“Maksud Dik Udang?”, Cacing menggeliat lagi.
“Kalau RT, RW nya saja seperti itu, pasti Camat dan Walikotanya tak jauh berbeda. Kalau Gubernur, Polisi dan Mentri terlalu sibuk tak sempat dan tak sudi ngurusi kita, apalagi Presidennya. Presidennya yang sendirian saja sibuk, apalagi PDR nya yang jumlahnya keroyokan.”
“Benar!”, gelegar sahut Pak Singa. “Grrrr,…. Mereka para pejabat itu lebih sibuk dengan urusan pribadi. Aku sdalah satu bukti!. Aku rela terlambat kawin hanya untuk mengurus dan menanyakan apakah penyakit nggilani yang menyerang anu manusia itu tak bisa diganti dengan nama yang lain. Bukan memakai namaku. Masak, penyakit kelamin boroken dinamakan Raja Singa! Grrrr,…
Para binatang tak bisa menahan gelinya. Namun mereka tak berani tertawa, takut kemarahan Pak Singa. Suasana jadi kaku.
Tiba-tiba anjing menggonggong, mempertanyakan kelanjutan perjalanan rombongan itu. Para binatang kebingungan. Mereka saling mengajukan argumentasinya. Sebagian cenderung ingin membubarkan diri, sebagian lagi ingin tetap bersama menghadap presiden dan DPR. Tapi, bedanya dengan rombongan manusia, tak ada yang abstain. Semua bersikap tegas; ya atau tidak, berikut keluguan dan ketidaktahuannya.

“Saudara-saudara, lama sejak kita memutuskan bergabung dalam rombongan ini, kita berjanji untuk tidak bersikap sama seperti manusia. Kita berjanji untuk menepati harkat martabat kebinatangan kita, yang berbeda dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Saudara-saudara masih ingat falsafah hidup bangsa binatang?!” Wan Onta memompa kata-kata.
Para binatang menjawab serempak; “Survive di dalam alam kehidupan!”
“Aapalagi?”
“Pantang menyerah mencapai tujuan!”
“Ideologi kaum hewan?”
“Kompakisme”
“ Nah, jadi, kalau memang kita mengakui kebinatangan kita, meyakini hak hidup kita, saudara-saudara saya ajak untuk menetapinya dalam sikap, kata-kata dan tindakan. Kita maju terus biarpun seperti kampret! Para tamtomo lumaksono magito-gitooo,…!!!”
Para binatang menjawab serempak, “Tandyooo,…!!!”

Angin kembali menggandeng debu jalanan. Mega mencoba membangunkan sinar matahari. Mereka kembali menguntit perjalanan kaum binatang dengan mars yang menghentak.
…..
“Kacung kampret masuk infantri
Kacung kampret baris pakai topi
Naik gunung turun gunung
Jalan licin Kampret Glundung
Kacung Kampret aduh-aduh biyung”
…..

Para binatang dengan kesegaran yang prima kembali berjalan mencari arah ke ibu kota. Tempat Kantor Presiden dan Gedung DPR berada.
“Hei,.. hei,..! Tungguuu,…!” Pak Dalang yang sedari tadi melongo, tersadar telah ketinggalan. “Hei,…. Mas, Om, Pakdhe, Pak Lik, Le, Tuan-tuan ….binatang tunggu! Saya bagaimana?!”
Jerapah yang berada di barisan belakang, setengah mangkel menyahut: “Berceritalah,…”
“OK, Baik!”, kata Pak Dalang.

Syahdan, setelah berputar-putar dipusingkan oleh rambu-rambu dan aturan lalu lintas di berbagai kota yang tak sama, para binatang sampai di ibu kota. Pengap, dan kemacetan jalan serta kemerosotan mental manusia menyambut kedatangan mereka. Saban hari mereka bertemu dengan rombongan arak-arakan manusia. Entah yang berangkat kerja, sekolah demonstrasi berbagai masalah, atau suporter sepak bola. Ibu kota, bagai monster yang tak pernah berhenti tumbuh. Di seluruh permukaan tubuhnya selalu menyembul tumor dan kanker yang tak terkendalikan ke segala arah. Membelit , membetot, menjulang, juga mengerong dan menyelam. Daging-daging itu tumbuh lebih lebat dari tumbuhan di hutan rimba. Menyerupai tangan dan kaki gurita yang menyebarkan asap, racun dan mantra, menguasai aliran darah jaringan daging dan sel-sel otak manusia. Menjelma benang kusut kehidupan.
Ringkas cerita, rombongan binatang itu gagal memasuki Gedung Parlemen meski sebelumnya berhasil ketemu Presiden. Para petugas keamanan telah memblokir semua jalan darat menuju Gedung DPR. Di langit, pasukan udara dengan pesawat canggih yang terkenal aus onderdilnya, mencegat demonstran binatang yang terbang. Mereka khawatir para binatang itu bertindak lebih kasar dari demonstrasi LSM, anggota partai politik ataupun mahasiswa. Maklum; namanya saja binatang, pasti tak punya aturan. Kalau demo manusia saja sudah mulai merobohkan pintu gerbang, apalagi para binatang. Begitu pikir para petugas keamanan.
Akan halnya cerita pertemuan dengan Kepala Negara; para binatang kecewa lantaran pucuk pimpinan itu tak berkata-kata sepatahpun saat mendengar tuntutan mereka. Lebih tragis lagi, seperti biasanya, presidennya manusia itu hanya memberi petunjuk dan arahan usai mendengar cerita duka mereka.

Angin kecapaian. Perlahan, debu lepas dari gandengannya. Mega tertidur lelap. Sembari sesekali menguap, ia menindih sinar matahari yang tak kuasa menggeser posisinya. Antara mimpi dan nyata, mereka mendendangkan kata-kata.
…..
“Dengan seluruh angkasa raya
Memuja pahlawan negara
Nan gugur remaja
Di ribaan bendera
Bela nusa bangsa”
…..


Solo, 2010